P
DEFEKASI (BUANG AIR BESAR)
KONSEP DEFEKASI (BUANG AIR BESAR)
Buang Air Besar
Buang
air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk
membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari
sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).
Fisiologi Buang Air Besar
Rektum biasanya kosong sampai
menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai kebiasaan teratur akan merasa
kebutuhan membung air besar kira-kira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini
disebabkan oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi.
Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka
peristaltik di dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari
hari kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon
pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam kolon
dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal bertambah
dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal, sfinkter
anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).
Proses Buang Air Besar
Jenis gelombang peristaltik yang
terlihat dalam usus halus jarang timbul pada sebagian kolon, sebaliknya hampir
semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi
haustrae dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden
dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten
yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari
katup ileosekal ke kolon transversum, sementara kimusnya sendiri menjadi
berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah padat bukan setengah cair.
Pergerakan massa adalah jenis
pristaltik yang termodifikasi yang ditandai timbulnya sebuah cincin konstriksi
pada titik yang teregang di kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon
distal sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan
kehilangan haustrasinya dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi
feses dalam segmen itu untuk menuruni kolon.
Kontraksi secara progresif
menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik, kemudian
terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan
massa yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan
massa biasanya menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul
kembali setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan
sudah mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk
defekasi (Guyton, 1997).
Pengertian konstipasi
Konstipasi adalah suatu penurunan
defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses
yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering
(Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan
frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya, berbentuk keras dan kering
(Oenzil, 1995).
Konstipasi adalah kesulitan atau
kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi
berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan
dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Penyebab konstipasi
·
Kurang gerak.
·
Kurang minum.
·
Kurang serat.
·
Sering menunda buang air besar.
·
Kebiasaan menggunakan obat pencahar.
·
Efek samping obat-obatan tertentu (antasid dan opiat) sampai
adanya gangguan seperti usus terbelit
Patofisiologi konstipasi
·
Defekasi menjadi sulit manakala frekuensi pergerakan usus
berkurang, yang akhirnya akan memperpanjang masa transit tinja. Semakin lama
tinja tertahan dalam usus, maka konsistensinya akan semakin keras, dan akhirnya
membatu sehingga susah dikeluarkan (Arisman, 2004).
·
Rasa takut akan nyeri sewaktu berdefekasi juga dapat menjadi
stimulus psikologis bagi seseorang untuk menahan buang air besar dan dapat
menyebabkan konstipasi. Rangsangan simpatis atau saluran gastrointestinal
menurunkan motilitas dan dapat memperlambat defekasi. Aktivitas simpatis
meningkat pada individu yang mengalami stress lama. Obat-obatan tertentu
misalnya antasid dan opiat juga dapat menyebabkan konstipasi (Corwin, 2000).
Cara mengurangi resiko konstipasi
·
Menyarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi
setiap hari,
·
seperti sayuran dan buah-buahan.
·
Menganjurkan untuk minum paling sedikit delapan gelas cairan
(air, jus, teh, kopi) setiap hari untuk melembutkan feses.
·
Menganjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin,
karena bisa menyebabkan ketergantungan (Moore, 1997).
Pemeriksaan
·
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi,
adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa
pengecap dan proses menelan.
·
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut,
peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot
perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya
tumor atau pelebaran nadi.
·
Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebih,
pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan
dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta
mengetahui adanya sumbatan usus.
·
Pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia,
fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan
tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi
informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya
darah.
·
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi
faktor resiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit,
anemia akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk menemukan
hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor.
·
Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk
mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan
melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari
dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan koloskopi
(Nri, 2004).
Terapi
·
Terapi diberikan sesuai penyebabnya dan pada lansia
pengobatannya harus hati-hati. Untuk pengobatan biasanya dimulai fase 1 yaitu
perubahan kebiasaan hidup meliputi latihan buang air besar secara teratur,
dikombinasi olahraga, dan diet banyak cairan minimum 1500 cc/hari air/jus buah,
makanan berserat sehari 20-30 gram.
·
Jika belum membaik, maka terapi memasuki fase 2, yaitu
penggunaan obat-obatan laksatif atau supositoria dan enema serta terapi
lainnya.
·
Jika fase 2 tidak efektif, maka perlu pemeriksaan radiologis,
bahkan pada konstipasi tertentu perlu dilakukan tindakan operasi (Arief, 2008).
Patofisiologi hubungan serat dengan konstipasi
·
Diet berserat tinggi mempertahankan kelembaban tinja dengan
cara menarik air secara osmotis ke dalam tinja dan dengan merangsang
peristaltik kolon melalui peregangan. Dengan demikian, orang yang makan makanan
rendah serat atau makanan yang sangat dimurnikan beresiko lebih besar mengalami
konstipasi (Corwin, 2000).
Fisiologi pencernaan Mengunyah
·
Pada umumnya otot-otot pengunyah dipersarafi oleh cabang
motorik dari saraf ranial kelima, dan proses mengunyah dikontrol oleh nukleus
dalam batang otak. Perangsangan formasio retikularis dekat pusat batang otak
untuk pengecapan dan menimbulkan pergerakan mengunyah yang ritmis secara
kontinu. Demikian pula, perangsangan area di hipotalamus, amigdala, dan bahkan
di korteks serebri dekat area sensoris untuk pengecapan dan penghidu sering
kali dapat menimbulkan gerakan mengunyah.
Menelan
·
Tahap volunter, bila makanan sudah siap untuk ditelan secara
sadar makanan ditekan atau digulung kearah posterior ke dalam faring oleh
tekanan lidah ke atas dan belakang terhadap palatum.
·
Tahap faringeal, sewaktu bolus makanan memasuki bagian
posterior mulut dan faring, bolus merangsang daerah reseptor menelan di seluruh
pintu faring, khususnya pada tiang-tiang tonsil, dan impuls-impuls berjalan ke
batang otak untuk mencetuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara
otomatis.
·
Tahap esopageal, esopagus terutama berfungsi untuk
menyalurkan makanan dari faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus
dari fungsi tersebut. Normalnya esopagus memperlihatkan dua tipe gerakan
peristaltik. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari gelombang
peristaltik yang dimulai di faring dan menyebar ke esopagus selama tahap
faringeal dan penelanan. Jika gelombang peristaltik primer gagal mendorong
semua makanan yang telah masuk esopagus ke dalam lambung, maka terjadi
gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari peregangan esopagus oleh
makanan yang tertahan, dan terus berlanjut sampai semua makanan dikosongkan ke
dalam lambung (Guyton, 1997).
DAFTAR PUSTAKA
1. Alimul, Azis. (2003). Riset
Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika
2. Almatsier, Sunita (2004). Penuntut
Diet. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
3. Arief, Irfan (2008). Serat si
Pencegah Konstipasi. http://id.wikipedia.org. Diakses: Tanggal 26 Oktober 2008.
Jam 11.00 WIB
4. Arikunto, Suharsimi (2002). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.Asdi Mahasatya
5. Arisman (2004). Gizi dalam Daur
Kehidupan. Jakarta: EGC
6. Beck, Mary (2000). Ilmu Gizi dan
Diet. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar